Minggu, 24 November 2013

Anak Berkebutuhan Khusus (Tunagrahita)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Istilah tunagrahita mungkin masih asing bagi pendengaran meskipun bukan tidak mungkin setiap hari berhadapan dengan salah seorang siswa yang sebenarnya mengalami ketunagrahitaan.  Banyak yang berasumsi bahwa anak tunagrahita sama dengan anak idiot. Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelegensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat.
Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka yang kondisi kecerdasannya di bawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang pernah digunakan, misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, terbelakang mental, retardasi mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam bahasa asing (Inggris) dikenal dengan beberapa istilah, yaitu mental retardation, mental deficiency,  mentally handcapped, feebleminded dan lain-lain.
Kata “mental” dalam peristilahan di atas adalah fungsi kecerdasan intelektual, dan bukan kondisi psikologi. Adapun peristilahan di Indonesia mengenai penyandang tunagrahita, mengalami perkembangan, yaitu lemah pikiran, lemah ingatan, digunakan sekitar tahun 1967, terbelakang mental, digunakan sejak tahun 1967 hingga tahun 1983, tunagrahita digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Semua istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun, semua istilah tersebut tertuju pada pengetian yang sama yaitu menggambarkan kondisi terlambat dan terbatasnya perkembangan kecerdasan seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini berlangsung pada masa perkembangan. Dari latar belakang di atas maka kami mencoba menyusun makalah yang berjudul “Anak Berkebutuhan Khusus – Tunagrahita”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat kami ambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan anak tunagrahita?
2.      Apa saja klasifikasi tunagrahita?
3.      Apa penyebab seorang anak mengalami ketunagrahitaan?
4.      Bagaimana upaya mencegah agar seorang anak tidak mengalami ketunagrahitaan?
5.      Bagaimana karakteristik anak tunagrahita?
6.      Apa saja kebutuhan pendidikan bagi tunagrahita?
7.      Bagaimana cara memberikan layanan bagi anak tunagrahita?
8.      Bagaimana strategi dan media yang digunakan untuk mendidik anak tunagrahita?
9.      Bagaimana cara mengevaluasi hasil belajar anak tunagrahita?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini:
1.      Memahami pengertian dari tunagrahita,
2.      Mengetahui klasifikasi anak tunagrahita,
3.      Memahami penyebab seorang anak mengalami ketunagrahitaan,
4.      Mengetahui upaya pencegahan terhadap tunagrahita,
5.      Mengetahui karakteristik tunagrahita,
6.      Mengetahui kebutuhan pendidikan bagi anak tunagrahita,
7.      Memahami cara memberikan layanan bagi anak tunagrahita
8.      Mengetahui strategi dan media yang dapat digunakan untuk mendidik anak tunagrahita, dan
9.      Mengetahui bagaimana cara mengevaluasi anak tunagrahita.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus (ABK). Pendidikan secara khusus untuk penyandang tunagrahita lebih dikenal dengan sebutan sekolah luar biasa (SLB). Pengertian tunagahita pun bermacam-macam.
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah lain untuk tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas.
Pengertian lain mengenai tunagrahita ialah cacat ganda. Seseorang yang mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu. Istilah cacat ganda yang digunakan karena adanya cacat mental yang dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat mata). Ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran.
Namun, tidak semua anak tunagrahita memiliki cacat fisik. Contohnya pada tunagrahita ringan. Masalah tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan  daya tangkap yang kurang. Secara global pengertian tunagrahita ialah anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang membutuhkan perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang maksimal.
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yang secara resmi digunakan AAMD (American Association on Mental Deficiency) sebagai berikut.
“Mental retardaction refers to significantly subaverage general Intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested during the developmental period”. Artinya, ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.
Sejalan dengan definisi tersebut, AFMR (1987) menggariskan bahwa seseorang yang dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen keadaan kecerdasannya yang jelas-jelas di bawah rata-rata, adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat.
Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah sebagai berikut:
a.       Fungsi Intelektual umum secara signifikan berada dibawah rata-rata, maksudnya bahwa kekurangan itu harus benar-benar menyakinkan sehingga yang bersangkutan memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagai contoh: anak normal rata-rata IQ 100, sedangkan anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b.      Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif), maksudnya bahwa yang bersagkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya. Ia hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh anak yang usianya lebih muda darinya.
c.       Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah ketunagrahitaan itu terjadi pada masa perkembanngan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 18 tahun.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai penyandang tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut. Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka yang brsangkutan belum dapat dikategorikan sebagai penyandang tunagrahita.


2.2 Klasifikasi Tunagrahita
Anak Tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi, yaitu :
1.      Tunagrahita Ringan
Anak yang tergolong dalam Tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menggambar, bahkan menjahit. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi, selain itu kondisi fisik mereka juga tidak terlihat begitu mencolok. Mereka mampu mengurus dirinya sendiri untuk berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra, mereka hanya perlu terus dilatih dan dididik.
2.      Tunagrahita Sedang
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu untuk diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, mereka paham untuk menjawab pertanyan dari orang lain, contohnya, ia tahu siapa namanya, alamat rumah, umur, nama orangtuanya, ,ereka akan mampu menjawab dengan jelas. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan social anak tunagrahita sedang.
3.      Tunagrahita Berat
Anak tunagrahita berat dapat disebut juga Idiot. Karena dalam kegiatan sehari- harinya membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayananyang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Asumsi anak tunagrahita sama dengan idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita tergolong dalam tunagrahita berat.

2.3 Faktor Penyebab Tunagrahita
Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli membagi faktor penyebab tersebut atas beberapa kelompok. Strauss membagi faktor penyebab ketunagrahitaan menjadi dua gugus yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel keturunan dan eksogen adalah hal-hal di luar sel keturunan, misalnya infeksi, virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain.
Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokan faktor penyebab ketunagrahitaan adalah berdasarkan waktu terjadinya, yaitu faktor yang terjadi sebelum lahir (prenatal), saat kelahiran (natal), dan setelah lahir (postnatal). Berikut ini beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan.
1.      Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan, meliputi hal berikut:
a.       Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari bentuk dapat berupa inversi (kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melihatnya kromosom; delesi (kegagalanmeiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel); duplikasi (kromosom tidak berhasil memisahkan diri sehingga trejadi kelebihan kromosom pada salah satu sel lainnya) translokasi ( adanbya kromosom yang patah dan patahnya menempel pada kromosom lain).
b.      Kelainan gen. Kelainan ini terjadi pada waktu imunisasi, tidak selamanya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotif). Ada 2 hal yang perlu diperhatikan untuk memahaminya, yaitu kekuatan kelainan tersebut, dan tempat gena (lucos)yang mendapat kelainan.
2.      Gangguan metabolisme dan gizi
Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu. Kelainan yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lain phenylketonuria (akibat metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak ) dan gejala yang tampak berupa ketidak normalan tinggi badan ,kerangka tubuh yang tidak proporsional , telapak tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol, dan tuna grahita; cretinism (keadaan hypohydroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan ) dengan gejala kelainan yang tampak adalah ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan.
3.      Infeksi dan keracunan
Keadaan ini  disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada didalam kandungan . penyakit yang dimaksut antara lain rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran , penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kueang ketika lahir, syphilis bawaan, syndrome gravidity beracun, hampir pada semua kasus berakibat ketunagrahitaan.
4.      Trauma dan zat radioaktif
Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerluka alat bantuan. Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinarX selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.
5.      Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran,misalnya kelahiran yang disertai hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak ,kejang dan napas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit
6.      Faktor lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang digunakan untuk pembuktian hal ini, salah satunya adalah penemuan patton & Polloway bahwa bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkembangan  menjadi salah satu penyebab ketunagrahitaan .
Latar belakang pendidikan orangtua sering  juga dihubungkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikian dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsangan poitif dalam masa perkembangan anak menjadi penyebab salah sau timbulnya gangguan.

2.4 Upaya Pencegahan Tunagrahita
Beberapa alternatif upaya pencegahan timbulnya ketunagrahitaan adalah sebagai berikut :
1.      Diagnostik prenatal
Adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memeriksa kehamilan. Dengan usaha ini diharapkan dapat ditemukan  kemungkinan adanya kelainan-kelainan pada janin, baik berupa kelainan kromosom maupun kelainan enzim yang diperlukan bagi perkembangan  janin. Seandainya ditemukan adanya kelainan, maka tindakan selanjutnya diserahkan kepada ibu hamil atau keluarganya atau pertimbangan-pertimbangan dari dokter ahli dalam masalah tersebut.
2.      Imunisasi
Dilakukan  terhadap ibu hamil maupun anak-anak balita. Dengan imunisasi ini dapat  mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang menganggu perkembangan bayi/anak.
3.      Tes darah
Dilakukan terhadap pasangan-pasangan yang akan menikah untuk menghindari kemungkinan menurunkan benih-benih yang berkelainan.
4.      Pemeliharaan kesehatan
Terutama bagi ibu-ibu hamil. Hal ini terutama menyangkut pemeriksaan kesehatan selama hamil, penediaan gizi/nutrisi serta vitamin yang memadai, menghindari radiasi, dan sebagainya.
5.      Program KB
Diperlukan untuk mengatur kehamilan dan menciptakan keluarga yang sejahtera baik dalam segi fisik maupun psikis. Keluarga kecil lebih memungkinkan terbinanya hubungan afeksi yang relative lebih baik serta terjaminnya kebutuhan fisik yang relative lebih baik pula.
6.      Sanitasi lingkungan
Yaitu mengupayakan terjaganya suatu lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang membahayakan perkembangan anak.
7.      Penyuluhan genetik
Yaitu suatu usaha  mengkomunikasikan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah genetika dan masalah-masalah yang ditimbulkannya. Ini dapat dilakukan melalui media cetak, elektronik, maupun secara langsung melalui posyandu atau klinik-klinik kesehatan.
8.      Tidakan operasi
Diperlukan terutama bagi kelahiran dengan resiko tinggi untuk mencegah kelainan-kelainan yang ditimbulkan pada waktu kelahiran.
9.      Intervensi dini
Program ini diperlukan terutama bagi para orang tua agar secara dini dapat membantu perkembangan anak-anaknya.

2.5 Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi :
1.      Fisik (Penampilan)
o  Hampir sama dengan anak normal
o  Kematangan motorik lambat
o  Koordinasi gerak kurang
o  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2.  Intelektual
o  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
o  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
o  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
o  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
3.      Sosial dan Emosi
o  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
o  Suka menyendiri
o  Mudah dipengaruhi
o  Kurang dinamis
o  Kurang pertimbangan/kontrol diri
o  Kurang konsentrasi
o  Mudah dipengaruh
o  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

Sedangkan karateristik tuna grahita menurut tingkatnya yaitu :
a.       Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita ringan yang lancar berbicara tetapi kurang pembendaharaan kata-katanya. Mereka mengalami kesulitan berfikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus, pada umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur tahun, tetapi itupun hanya sebagian dari mereka, sebagian tidak dapat mencapai umur kecerdasan seperti itu.
b.      Karakteristik anak Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik. Perkembangan bahasanya lebih terbatas, tetapi dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya. Mereka masih mempunyai potensi untuk belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi pada umur dewasa mereka baru mencapai kecerdasan yang sama dengan anak umur 7 tahun atau 8 tahun. R. P. Mandey and Jhon Wiles (1959) menyatakan : “imbeciles have the intelligence of a child of up seven years.” Maksudnya ialah anak tunagrahita sedang dapat mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak normal usia tujuh tahun.
c.       Karakteristik Anak Tunagrahita Berat dan Sangat berat
Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri (makan, berpakaian, ke WC dan sebagainya harus dibantu). Pada umumnya mereka tidak dapat membedakan yang berbahaya dengan yang tidak berbahaya, tidak mungkin berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya, dan jika sedang berbicara maka kata-katanya dan ucapannya sangat sederhana. Kecerdasan seseorang anak tunagrahita berat dan sangat berat hanya dapat berkembang paling tinggi seperti anak normal yang berumur 3 atau 4 tahun.

2.6 Kebutuhan Pendidikan bagi Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
1.      Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2.      Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3.      Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
4.      Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
5.      Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan
6.      Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a.       Pengenalan diri
b.      Sensorimotor dan persepsi
c.       Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d.      Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e.       Bina diri dan kemampuan sosial
Menurut Somantri (2005) beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai pendukung dalam pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai berikut.
ü  Latihan pernapasan.
Latihan ini dapat dilakukan meniup lilin pada jarak tertentu, meniup harmonica, dan lain-lain.
ü  Latihan otot bicara seperti lidah, bibir dan rahang.
Dalam latihan ini, anak tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk-batuk, atau menggerakkan bibir, lidah, dan rahanggnya. Saranya dapat menggunakan permen karet yang dikunyah dan dipindah-pindahkan dari kenan ke kiri.
ü  Latihan pita suara.
Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitar dengan menggunakan kata lembaga, yaitu daftar kata yang disusun sesuai dengan tingkat kesulitan konsonan tertentu, dapat dimasukkan pula menirukan suara macam-macam binatang dan benda-benda lain disekitarnya sebagai improvisasi, seperti suara kucing, anjing, bebek, dan lain-lain.
Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistic, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan tekhnik modifikasi perilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan hasil yang berarti.
Apabila dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan baik, dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau minuman, atau penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan dan lain-lain. Secara bertahap kondisinya terus ditingkatkan sesuai dengan tahapan yang diperlukan, dengan memerhatikan usia mental dan usia kalendernya.
Jenis terapi perilaku yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita yaitu melalui kegiatan bermain (kegiatan fisik dan/atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh). Mengingat urgensinya bermain bagi anak tunagrahita, dewasa ini aktivitas bermain dikembangkan menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: (1) setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda, (2) sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita (1976).
Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak tunagrahita, antara lain sebagai berikut:
1.      Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, pertukaran zat, peredaran darah, dan pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan melalui kegiatan bermain, baik bantuan pada satu aspek funsi fisik ataupun lebih.
2.      Pengembangan sensomotorik, artinya melalui bermain melatih pengindraan (sensoris) seperti ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan atau penciuman, di samping melatih otot dan kemampuan gerak, seperti tangan, kaki, dan gerak tubuh lainnya. Oleh karena itu, bertambahnya koordinasi aspek sensoris dan aspek motoris dalam bermain, semakin baik bagi perkembangan anak tunagrahita.
3.      Pengembanagan daya khayal, maksudnya melalui bermain, anak tunagrahita diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai sarana yang diperlukan untuk pengembangan daya khayal dan krasinya.
4.      Pembinaan pribadi, maksudnya dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan, percaya diri, dan lainnya.
5.      Pengembangan sosialisasi, yaitu anak harus berbesar hati menunggu giliran, setia, dan jujur.
6.      Pengembangan intelektual, Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam permainan. Secara tidak langsung cara ini sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan intelektual anak tunagrahita.
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut:
1.      Latihan menuangkan air
2.      Bermain pasir
3.      Bermain tanah liat
4.      Meronce manic manic
5.      Latihan melipat
6.      Mengelem dan menempel
7.      Menggunting dan memotong
8.      Latihan menyobek
9.      Jarum dan benang.
Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita, yaitu bermain mengandung unsur olahraga. Misalnya, berjalan diatas bangku dan latihan lain yang menggunakan alat, misalnya menendang bola.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional, pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanya. Misalnya bermain jala ikan, kucing dan tikus, dan lainnya.

2.7 Layanan bagi Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, dapat mengaktualisasikan potensinya asalkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan dengan pelayanan khusus. Melalui pelayanan ini mereka akan mampu melaksanakan tugasnya sehingga dapat memiliki rasa percaya diri dan harga diri. Hal yang paling penting dalam pendidikan anak tunagrahita adalah memunculkan harga diri sehingga mereka tidak menarik diri dan masyarakat tidak mengisolasi anak tunagrahita karena mereka terbukti mampu melakukan sesuatu. Pada akhirnya anak tunagrahita mendapat tempat di hati masyarakat, seperti anggota masyarakat umumnya.
Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan pelayanan yang memiliki ciri-ciri khusus dan prinsip khusus, sebagai berikut.
a.       Ciri-ciri khusus
1.      Bahasa yang digunakan
Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak tunagrahita adalah bahasa sederhana, tidak berbelit, jelas, dan gunakan kata-kata yang sering didengar oleh anak.
2.      Penempatan anak tunagrahita di kelas
Anak tunagrahita ditempatkan di bagian depan kelas dan berdekatan dengan anak yang kira-kira hampir sama kemampuannya. Apabila ia di kelas anak normal maka ia ditempatkan dekat anak yang dapat menimbulkan sikap keakraban.
3.      Ketersediaan program khusus
Di samping ada program umum yang diperkirakan semua anak di kelas itu dapat mempelajarinya perlu disediakan program khusus untuk anak tunagrahita yang kemungkinan mengalami kesulitan.
b.      Prinsip khusus
1.      Prinsip skala perkembangan mental
Prinsip ini menekankan pada pemahaman  guru mengenai usia kecerdasan anak tunagrahita. Dengan memahami usia ini guru dapat menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan usia mental anak tunagrahita tersebut.  Dengan demikian,  anak tunagrahita dapat mempelajari materi yang diberikan guru. Melalui prinsip ini dapat diketahui perbedaan antar dan intraindividu. Sebagai contoh: A belajar berhitung tentang penjumlahan 1 sampai 5. Sementara B telah mempelajari penjumlahan 6 sampai 10. Ini menandakan adanya perbedaan antarindividu.  Contoh berikut adalah perbedaan intraindividu, yaitu C mengalami kemajuan berhitung penjumlahan sampai dengan 20. Tetapi dalam pelajaran membaca mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk huruf.
2.      Prinsip kecekatan motorik
Melalui prinsip ini anak tunagrahita dapat mempelajari sesuatu dengan melakukannya. Di samping itu, dapat melatih motorik anak terutama untuk gerakan yang kurang mereka kuasai.
3.      Prinsip keperagaan
Prinsip ini digunakan dalam mengajar anak tunagrahita mengingat keterbatasan anak  tunagrahita  dalam berpikir abstrak. Oleh karena sangat penting, dalam mengajar anak tunagrahita dapat menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga anak tunagrahita tidak verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya. Dalam menentukan alat peraga hendaknya tidak abstrak dan menonjolkan pokok materi yang diajarkan. Contohnya, anak belajar membaca kata “bebek”,  alat peraganya adalah tulisan kata bebek harus tebal sementara gambar bebek harus tipis. Maksudnya,  gambar bebek hanyalah untuk membantu pengertian anak.
4.      Prinsip pengulangan
Berhubung anak tunagrahita cepat lupa mengenai apa yang dipelajarinya maka dalam mengajar mereka membutuhkan pengulangan-pengulangan disertai contoh yang bervariasi.  Oleh karena itu, dalam mengajar anak tunagrahita janganlah cepat-cepat maju atau pindah ke bahan berikutnya sebelum guru yakin betul bahwa anak telah memahami betul bahan yang dipelajarinya. Contohnya,  C belajar perkalian 2 (1 x 2, 2 x 2,). Guru harus mengulang pelajaran itu sampai anak memahami betul arti perkalian. Barulah kemudian menambah kesulitan materi pelajaran, yakni 3 x 2, 4 x 2, dan seterusnya.Pengulangan-pengulangan seperti itu,  sangat menguntungkan anak tunagrahita karena informasi itu akan sampai pada pusat penyimpanan memori dan bertahan dalam waktu yang lama.
5.      Prinsip korelasi
Maksud prinsip ini adalah bahan pelajaran dalam bidang tertentu hendaknya berhubungan dengan bidang lainnya atau berkaitan langsung dengan kegiatan kehidupan sehari-hari anak tunagrahita.
6.      Prinsip maju berkelanjutan
Walaupun anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan perlu pengulangan, tetapi harus diberi kesempatan untuk mempelajari bahan berikutnya dengan melalui tahapan yang sederhana. Jadi, maksud prinsip ini adalah pelajaran diulangi dahulu dan apabila anak menunjukkan kemajuan, segera diberi bahan berikutnya.  Contohnya, menyebut nama-nama hari mulai Senin, Selasa,  dan  Rabu. Ulangi dahulu nama hari Senin, Selasa, Rabu, kemudian lanjutkan menyebut Kamis, Jumat Sabtu, Minggu.
7.      Prinsip individualisasi 
Prinsip ini menekankan perhatian pada perbedaan individual anak tunagrahita. Anak tunagrahita belajar sesuai dengan iramanya sendiri.  Namun,  ia harus berinteraksi dengan teman atau dengan lingkungannya. Jadi, ia tetap belajar bersama dalam satu ruangan dengan kedalaman dan keluasan materi yang berbeda. Contohnya, pada jam 8.00 murid kelas  3 SDLB belajar berhitung. Materi pelajaran anak-anak itu berbeda-beda sehingga terdiri dari 3 kelompok. Kelompok 1 harus ditunggui barulah ia  akan belajar, sedangkan  kelompok  2  cukup diberi penjelasan dan langsung mengerjakan tugasnya.

2.8 Strategi dan Media bagi Anak Tunagrahita
A. Strategi 
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunagrahita pada prinsipnya tidak berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Pada prinsipnya menentukan strategi pembelajaran harus memperhatikan tujuan pelajaran, karakteristik murid dan ketersediaan sumber (fasilitas). Strategi yang efektif pada anak tunagrahita belum tentu akan baik bagi anak normal dan anak berinteligensi tinggi.
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi pembelajaran bagi mereka yang belajar di sekolah luar biasa. Berikut penjelasan tentang macam-macam strategi pengajaran untuk anak tunagrahita:
1.      Strategi pengajaran yang diindividualisasikan
Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan berbeda maknanya dengan pengajaran individual. Pengajaran individual adalah pengajaran yang diberikan kepada seorang demi seorang dalam waktu tertentu dan ruang tertentu pula, sedangkan  pengajaran yang diindividualisasikan diberikan kepada tiap murid meskipun mereka belajar bersama dengan bidang studi yang sama, tetapi kedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan tiap anak. Strategi ini tidak menolak sistem klasikal atau kelompok. Strategi ini memelihara individualitas. Dalam pelaksanaannya guru perlu melakukan hal-hal berikut ini:
Ø  Pengelompokan murid yang memungkinkan murid dapat berinteraksi, bekerja sama, dan bekerja selaku anggota kelompok dan tidak menjadi anggota tetap dalam kelompok tertentu. Kedudukan murid dalam kelompok sesuai dengan minat, dan kemampuan belajar yang hampir sama.
Ø  Pengaturan lingkungan belajar yang memungkinkan murid melakukan kegiatan yang beraneka ragam, dapat berpindah tempat sesuai dengan kebutuhan murid tersebut, serta adanya keseimbangan antara bagian yang sunyi dan gaduh dalam pekerjaan di kelas. Adanya petunjuk tentang penggunaan tiap bagian, adanya pengaturan agar memudahkan bantuan dari orang yang dibutuhkan. Posisi tempat duduk (kursi & meja) dapat berubah-ubah, ukuran barang dan tata letaknya hendaknya dapat dijangkau oleh murid sehingga memungkinkan murid dapat mengatur sendiri kebutuhan belajarnya.
Ø  Mengadakan pusat belajar (learning centre)
Pusat belajar ini dibentuk pada sudut-sudut ruangan kelas, misalnya sudut bahasa, sudut IPA, berhitung. Pembagian seperti  ini, memungkinkan anak belajar sesuai dengan pilihannya sendiri. Di pusat belajar itu tersedia pelajaran yang akan dilakukan, tersedianya tujuan Pembelajaran Khusus sehingga mengarahkan kegiatan belajar yang lebih banyak bernuansa aplikasi,  seperti mengisi, mengatur, menyusun, mengumpulkan, memisahkan, mengklasifikasi, menggunting, membuat bagan, menyetel, mendengarkan, mengobservasi.  Selain itu,  pada tiap pusat belajar tersedia bahan yang dapat dipilih dan digunakan oleh anak itu sendiri. Melalui strategi ini anak akan maju sesuai dengan irama belajarnya sendiri dengan tidak terlepas dari interaksi sosial.
2.      Strategi kooperatif
Strategi ini relevan dengan kebutuhan anak tunagrahita di mana kecepatan belajarnya tertinggal dari anak normal. Strategi ini bertitik tolak pada semangat kerja di mana mereka yang lebih pandai dapat membantu temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam suasana kekeluargaan dan keakraban.
Strategi kooperatif memiliki keunggulan,  seperti meningkatkan sosialisasi antara anak tunagrahita dengan anak normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif anak normal terhadap prestasi belajar anak tunagrahita sehingga memungkinkan harga diri anak tunagrahita meningkat, dan memberi kesempatan pada anak tunagrahita untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Dalam pelaksanaannya guru harus memiliki kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran, seperti untuk meningkatkan kemampuan akademik dan lebih-lebih untuk meningkatkan keterampilan bekerja-sama. Selain itu guru dituntut mempunyai keterampilan untuk mengatur tempat duduk, pengelompokan anak dan besarnya anggota kelompok. Jonshon D.W (1984) mengemukakan bahwa guru harus mampu merancang bahan pelajaran dan peran tiap anak yang dapat menunjang terciptanya ketergantungan positif antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
Namun, perlu disadari bahwa pengalaman, kesungguhan, dan kecintaan guru terhadap profesinya merupakan modal utama yang ikut menentukan keberhasilan pembelajaran anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
3.      Strategi modifikasi tingkah laku
Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang ke bawah atau anak tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik.  Dalam  pelaksanaannya  guru harus terampil memilih tingkah laku yang harus dihilangkan. Sementara itu perlu pula teknik khusus dalam melaksanakan modifikasi tingkah laku tersebut,  seperti  reinforcement.
Reinforcement  ini merupakan hadiah untuk mendorong anak agar berperilaku baik. Reinforcement dapat berupa pujian, hadiah atau elusan. Pujian diberikan apabila siswa menunjukkan perilaku yang dikehendaki oleh guru. Dan pemberian reinforcement itu makin hari makin dikurangi agar tidak terjadi ketergantungan.
Menurut Irianto (2010) gurudi sekolah inklusi dikenal dengan istilah “guru yang mendidik” yakni guru yang mampu menerapkan program pembelajaran yang tidak mementingkan mata pelajaran apa yang diajarkan atau di kelas berapa dia mengajar. Dengan demikian guru yang mendidik adalah guru yang dapat bertindak sebagai guru kelas professional yang berhadapan dengan semua mata pelajaran dan dapat melayani dan membelajarkan semua siswa tanpa terkecuali. Guru yang mendidik juga ditandai dengan sikap professional yang selalu belajar dan mempelajari berbagai informasi dasar  yang berkaitan dengan hambatan/kelainan anak dan yang mampu memberikan pengajaran mendidik yang disesuaikan dengan kateristik dan kebutuhan anak.
Wong, Kauffan dan Lloyd (1991:108-115) memberikan gambaran tentang guru yang mendidik bagi siswa penyandang tunagrahita di sekolah regular/inklusi, diantaranya adalah: (1) Punya harapan bahwa siswa akan berhasil, (2) Fleksibel dalam menangani para siswa, (3) Mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap siswa secara terbuka, (4) melakukan  pendekatan tersusun dengan baik dalam pengajaran, (5) Bersikap hangat, sabar, humoris kepada siswa, (6) bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan anak-anak dan orang dewasa, (7) mempunyai kemampuan bekerjasama dengan guru pendidikan khusus dan bersiat responsive dalam membantu orang lain, (8) mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh semula anak dengan menggunakan penalaran-penalaran yang logis, (9) mempunyai sikap percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru, (10) punya rasa keterlibatan professional yang tinggi serta pemuasan professional, (11) tidak gampang menyerah dan putus asa dalam menghadapi anak, tetapi selalu berfikir kreatif dan inovatif guna mencari solusi pembelajran yang tepat dan bermartabat yang berlandaskan sendi-sendi kemanusiaan yang humanistik.

B. Media
Media pembelajaran yang digunakan pada pendidikan anak tunagrahita tidak berbeda dengan media yang digunakan pada pendidikan anak biasa. Hanya saja pendidikan anak tunagrahita membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat keterbatasan kecerdasan intelektualnya.  Alat-alat khusus yang ada  diantaranya  adalah  alat latihan kematangan motorik berupa form board, puzzle; latihan kematangan indra, seperti latihan perabaan, penciuman; alat latihan untuk mengurus diri sendiri, seperti latihan memasang kancing, memasang retsluiting; alat latihan konsentrasi,  seperti papan keseimbangan, alat latihan membaca, berhitung, dan lain-lain.
Dalam menciptakan media pendidikan anak tunagrahita, guru perlu memperhatikan beberapa ketentuan, antara lain  (1) bahan tidak berbahaya bagi anak, mudah diperoleh, dapat digunakan oleh anak;  (2) warna tidak mencolok dan tidak abstrak; serta (3) ukurannya harus dapat digunakan atau diatur penggunaannya oleh anak itu sendiri (ukuran meja dan kursi).

2.9 Evaluasi Belajar untuk Anak Tunagrahita
Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan evaluasi belajar anak tunagrahita.
a.       Waktu mengadakan evaluasi
Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berakhir atau pada waktu yang telah ditetapkan,  seperti waktu tes prestasi belajar atau tes hasil belajar, tetapi tidak kalah pentingnya evaluasi selama proses belajar mengajar berlangsung. Pada saat itu dapat dilihat bagaimana reaksi anak, sikap anak, kecepatan atau kelambatan setiap anak. Apabila ditemukan anak yang lebih cepat dari temannya maka ia segera diberi bahan pelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman-temanya,  sedangkan  anak yang lebih lambat, mendapatkan pengulangan atau penyederhanaan materi pelajaran.
b.      Alat evaluasi
Sama halnya dengan alat evaluasi yang digunakan pada pendidikan anak normal maka alat evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita tidak berbeda, kecuali dalam bentuk dan urutan penggunaannya. Penggunaan alat evaluasi,  seperti tulisan, lisan dan perbuatan bagi anak tunagrahita harus ditinjau lebih dahulu bagaimana keadaan anak tunagrahita yang akan dievaluasi.  Misalnya,  anak tunagrahita sedang tidak mungkin diberikan alat evaluasi tulisan. Mereka diberikan alat evaluasi perbuatan dan bagi anak tunagrahita ringan dapat diberikan alat evaluasi tulisan maupun lisan karena anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca serta berhitung walaupun tidak seperti anak normal pada umumnya. Kemudian, kata tanya yang digunakan adalah kata yang tidak menuntut uraian (bagaimana, mengapa), tetapi kata apa, siapa atau di mana.
c.       Kriteria keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita agar tidak dibandingkan dengan teman sekelasnya, tetapi dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu sendiri dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,  penilaian pada anak tunagrahita adalah  longitudinal  maksudnya penilaian yang  mengacu pada perbandingan prestasi  individu atas dirinya sendiri yang dicapainya kemarin dan hari ini.
d.      Pencatatan hasil evaluasi
Pencatatan evaluasi yang telah kita kenal berbentuk kuantitatif, artinya kemampuan anak dinyatakan dengan angka. Tetapi  bentuk seperti ini,  bagi anak tunagrahita tidak cukup.  Jadi,  harus menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan kualitatif.  Misalnya,  dalam pelajaran Berhitung, si Ano mendapat nilai angka 8. Sebaiknya diikuti dengan penjelasan, seperti nilai 8 berarti dapat mempelajari penjumlahan 1 sampai 5, pengurangan 1 sampai 3.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Tunagrahita ialah sebutan untuk anak dengan hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas. Klasifikasi anak tunagrahita dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat. Sedangakan faktor penyebab ketunagrahitaan antara lain yaitu, disebabkan oleh faktor keturunan, gangguan metabolisme dan gizi, infeksi dan keracunan, trauma dan zat raioaktif, masalah pada kelahiran, dan faktor lingkungan. Ketunagrahitaan dapat kita cegah dengan cara, diagnostik prenatal, imunisasi, tes darah, pemeliharaan kesehatan, program KB, sanitasi lingkungan, penyuluhan genetik, tindak operasi, dan intervensi dini. Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita pada umumnya dapat dilihat dari segi :
1.      Fisik (Penampilan)
o  Hampir sama dengan anak normal
o  Kematangan motorik lambat
o  Koordinasi gerak kurang
o  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
2.      Intelektual
o  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
o  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
o  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
o  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.
3.      Sosial dan Emosi
o  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
o  Suka menyendiri
o  Mudah dipengaruhi
o  Kurang dinamis
o  Kurang pertimbangan/kontrol diri
o  Kurang konsentrasi
o  Mudah dipengaruh
o  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.
Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu kelas transisi, sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1), pendidikan terpadu, sekolah di rumah, pendidikan inklusif, dan panti (griya) rehabilitasi. Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak tunagrahita juga memiliki ciri khusus dan prinsip khusus agar perkembangan mereka meningkat.
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk anak tunagrahita antara lain, strategi pembelajaran yang diindividualisasikan, kooperatif, dan modifikasi tingkah laku. Begitu pula untuk media pembelajaran yang digunakan untuk anak tunagrahita tidak jauh berbeda dengan anak normal, hanya saja pendidikan anak tunagrahita membutuhkan media seperti alat bantu belajar yang lebih banyak mengingat keterbatasan kecerdasan intelektualnya. Evaluasi belajar anak tunagrahita dapat diukur melalui waktu mengadakan evaluasi, alat evaluasi yang digunakan, kriteria keberhasilan, pencatatan hasil evaluasi.

3.2 Saran
Dalam sistem pendidikan saat ini, banyak terdapat sekolah inklusif di mana layanan pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan digabungkan. Dengan begitu, kita sebagai seorang guru sudah seharusnya mempelajari bagaimana cara menangani anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak tunagrahita agar dapat mengembangkan potensi anak tersebut menjadi lebih baik. Jadi, tidak hanya anak normal saja yang dapat kita kembangkan potensinya.

DAFTAR PUSTAKA

Adil, Nasrun. 1994. Hubungan Kemampuan Berbicara dengan Penyesuaian Sosial
                      Anak Tunagrahita Ringan. Medan: Institut Keguruan dan Ilmu
                      Pendidikan
Ciptono, dkk. 2009. Guru Luar Biasa. PT.Mizan Publika
http://annesdecha.blogspot.com (diakses tanggal 03 Nopember 2013, 10:45 WIB)
http://nailarahma-plbuns2012.blogspot.com (diakses tanggal 03 Nopember 2013,
         10:03 WIB)
http://wikipedia.com (diakses tanggal 01 Nopember 2013, 17:03 WIB)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar