Rabu, 17 Desember 2014

ARSITEKTUR RUMAH ADAT KUDUS DITINJAU FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pada arsitektur tradisional, pengaturan ruang dan bentuk sering berorientasi pada kaidah-kaidah yang dianggap suci. Upacara ritual selalu mengikuti proses pembangunan sejak awal pelaksanaan pembangunan.
Nilai Arsitektur Tradisional rumah Adat Kudus merupakan salah satu wujud dari kebudayaan daerah, yang sekaligus merupakan salah satu wujud dari bangunan atau gaya seni bangunan tradisional warisan nenek moyang masyarakat Kudus. Oleh karena itu sudah sepantasnya dipertahankan dan dilestarikan secara adat dan turun temurun.
Nilai kebudayaan tersebut pada prinsipnya  berupa bentuk bangunan, bahan struktur dan fungsi bangunan dengan macam ragam seni hias, motif dan cara pembuatannya.
Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus yang akan saya ungkapkan ialah arsitektur yang masih tetap dipertahankan untuk melakukan aktifitas kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Bila dilihat dari bentuk, tataruang, ragam hias, system ekonomi dan filsafat yang terkandung didalamnya, maka gaya Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus merupakan perpaduan antara kebudayaan Cina, Hindu dan Islam. Dengan demikian ketiga unsur pokok warisan budaya nenek moyang menyatu berwujud Rumah Adat Kudus yang anggun, gagah, dan kokoh.

B.     Rumusan Masalah
1.     Bagaimana sejarah tentang ukiran Kudus?
2.     Bagaimana tata ruang tentang rumah adat Kudus?
3.     Apa nilai-nilai filosofis rumah adat Kudus?
 

C.    Tujuan Penulisan
1.     Mengungkapkan sejarah dari ukiran Kudus.
2.     Mendeskripsikan tentang Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus.
3.     Memberitahukan bahwa terdapat nilai-nilai filosofis dalam rumah adat Kudus.
4.     Menyebarluaskan wawasan kepada khalayak umum tentang informasi Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus.

D.    Manfaat Penulisan
1.     Menambah ilmu pengetahuan, wawasan umum dan luas.
2.     Guna mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus.
3.     Dapat menjadi salah satu referensi bagi penulisan ataupun penelitian mengenai Arsitektur Tradisional Rumah Adat Kudus.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sejarah Singkat Ukiran Kudus
Seni ukir di Kudus mulai ketika seorang imigran dari Cina yaitu The Ling Sing tiba pada abad 15. Beliau datang ke Kudus tidak hanya menyebarkan ajaran Islam tetapi juga menekuni keahliannya dalam kesenian mengukir. Aliran kesenian ukir The Ling Sing adalah Sun Ging yang terkenal karena halus dan indahnya.
Dari daerah Kudus inilah beliau banyak menerima murid yang mempelajari agama maupun seni ukir. Beliau wafat dan dimakamkan di Kudus.
Perbedaan ukiran di Kudus dan Jepara.
1.        Seni ukir di Kudus berkembang pada pembuatan rumah. Ukirannya halus dan indah, bunganya kecil-kecil dan bisa 2 atau 3 dimensi.
2.        Seni ukir di Jepara berkembang pada peralatan rumah tangga, misalnya almari, tempat tidur, kursi dan lain-lain. Bentuk ukirannya besar-besar.

Rumah Adat Kudus (Rumah Ukir) terdiri dari  beberapa motif ukiran yang dipengaruhi dari budaya Cina, Hindu, Islam dan Eropa. Motif dan gaya seni ukir tersebut adalah :
1.         Motif Cina, berupa ukiran naga yang terletak pada bangku kecil untuk masuk ruang dalam.
2.         Motif Hindu, digambarkan dalam bentuk padupan yang terdapat di gebyok (pembatas antara ruang Jogo Satru dan ruang dalam).
3.         Motif Persia/Islam, digambarkan dalam bentuk bunga, terdapat pada ruang Jogo Satru.
4.         Motif Eropa, digambarkan dalam bentuk mahkota yang terdapat diatas pintu masuk ke gedongan.

B.     Bentuk Rumah Adat Kudus
            Bentuk Rumah Adat Kudus adalah “Joglo-Pencu” yang berpenampilan perkasa serta anggun. Hal ini melambangkan bentuk fisik penghuninya yang tampan, gagah serta perkasa. Sedangkan penghuni rumah tersebut dilambangkan sebagai Sang Sukma, yang menyatu mengisi, merawat, memelihara serta menjaga rumahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.
            Rumah Joglo pencu yang tampak menjulang tinggi menggapai langit, melambangkan tingginya kuasa Yang Maha Agung atas manusia. Oleh karena itu penghuninya harus selalu ingat serta taqwa terhadap Allah SWT demi keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat. Atap rumah adat dibuat dari genteng. Sedangkan diatas genteng bertengger gendeng, yang pada umumnya kepala gendeng bermotif tumbuh-tumbuhan (salur-saluran) sebagai ciri budaya Islam. Ada beberapa jenis gendeng yaitu :
1.              Gendeng Wedok (gelung cekak)
2.              Gendeng Gajah (gendeng pendamping dibubungan atap)
3.              Gendeng Raja (gendeng tengah pada bubungan atap)
Pada puncak atap bertengger gendeng raja dengan motif tumbuh-tumbuhan yang melambangkan bahwa manusia hidup wajjib berlindung dan memohon perlindungan kepada penguasa (di dunia) dan Allah SWT (di dunia dan akhirat).
Fisik bangunan Rumah Adat Kudus berdiri di atas landasan/alas yang terdiri dari 5 (lima) trap diatas permukaan tanah, yaitu :
1.            Bancik kapisan (trap terbawah).
2.            Bancik kapindho (trap kedua dari bawah).
3.            Bancik ketelu (trap ketiga dari bawah).
4.            Jogan Jogosatru (trap lantai ruang depan).
5.            Jogan Lebet (trap lantai ruang dalam).
Kelima landasan berdirinya lantai rumah, mengarahkan kepada penghuninya agar taat melaksanakan 5 (lima) rukun Islam, demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.

C.    Tata Ruang
            Tata ruang rumah adat Kudus tampak sederhana, dan terdiri beberapa ruangan, yaitu :
1.                  Jogo satru, yaitu ruangan depan yang sekarang difungsikan sebagai ruang tamu. (Fungsi sebenarnya untuk mencegah dan menangkal satru/musuh yang datang sewaktu-waktu).
2.                  Di dalam ruangan Jogo satru terdapat satu tiang yang disebut Soko Geder. Hal ini melambangkan Allah itu tunggal dan mengingatkan kepada penghuninya agar selalu iman dan taqwa kepada Allah SWT.
3.                  Ruang dalam (inti) berfungsi sebagai kamar-kamar dan gedongan(kamar utama) yang digunakan untuk menyimpan  benda-benda pusaka, kekayaan dan sebagai kamar tidur kepala keluarga.
Di ruang dalam ini terdapat kerangka bangunan yang disangga/ditumpu kokoh oleh 4 buah sokoguru yang melambangkan “Napsu Patang Prakoro” atau 4 jenis nafsu manusia yaitu amarah, luamah, sufiah dan mutmainnah.
Hal ini mengandung pengertian bahwa penghuninya harus mampu menguasai dan mengendalikan hawa nafsu tersebut.
               Di atas keempat soko guru tersebut terdapat Pangeret Tumpang Songo (kamuncak berlapis sembilan) yang semakin keatas semakin mengecil. Selain itu ada yang berpangeret tumpang pitu (tujuh) tumpang lima dan tumpang telu (tiga) tergantung dengan kemampuan dan kekuatan sosial ekonomi pemiliknya.
      Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam jumlah pangeret tersebut adalah :
a.      Pangeret Tumpang Songo, melambangkan bahwa di tanah Jawa ada Walisongo perlu dijadikan suri tauladan.
b.     Pangeret Tumpang Pitu, melambangkan bahwa kelahiran manusia di dunia itu tidak sendirian, tetapi bersama kadang pitu yaitu : Mar, Marti, kakang kawah, adi ari-ari, getih, puser dan pancer sukma. Hal ini diharapkan pemilik rumah mampu menyatukan diri dengan semua kadang pitu guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
c.      Pangeret Tumpang Lima, melambangkan 5 kali solat dalam sehari semalam yang merupakan bagian dari 5 rukun islam.
d.     Pangeret Tumpang Telu, berarti setiap manusia wajib memahami bahwa dirinya adalah titah sawantah yang mengalami 3 kehidupan, yaitu :
1.   Kehidupan di alam arwah/insane hamil.
2.   Kehidupan di alam dunia fana.
3.   Kehidupan di alam akhirat.
Oleh karena itu diharapkan penghuni rumah dapat membekali dirinya agar kehidupannya di alam akhirat nanti mendapatkan kebahagiaan disisi Allah SWT.

D.    Nilai-Nilai Filosofis
            Filsafat hidup manusia dalam rumah adat Kudus mencerminkan betapa dalamnya ilmu, budi luhur nenek moyang kita yang diwariskan dalam bentuk perlambang/sandi dalam bangunan yang dihuninya.
            Sebagai kelengkapan pembakuan gaya arsitektur tradisional rumah adat Kudus ini, perlu sedikit adanya ungkapan nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1.      Pakawin
Yang dimaksud dengan pakawin yaitu tempat untuk membersihkan diri baik fisik maupun rohani. Pakawin tersebut berupa sumur, kamar mandi dan padasan (tempat wudlu). Biasanya Pakawin terletak di depan rumah sebelah kiri sejajar dengan pawon.Ini diharapkan agar tiaporang yang datang dari bepergian supaya membersihkan kaki dan tangan terlebih dahulu di kamar mandi tersebut sebelum memasuki rumah.
Di sekeliling Pakawinan biasanya ditanami berbagai tumbuh-tumbuhan sebagai perlambang kepada manusa, antara lain :
a.         Pohon belimbing : Melambangkan 5 rukun Islam seperti jumlah linger buah belimbing
b.        Pohon puring : Jadilah manusia agar tidak menjadi gampang sudah menghadapi kesulitan.
c.         Pohon andhong : Manusia supaya pandai-pandai tanggap situasi guna memperoleh kebahagiaan.
d.        Pohon pandan wangi : Melambangkan rezeqi yang harum seharum pandan yang banyak manfaatnya.
e.         Pohon kembang melati : Melambangkan keharuman serta kesucian abadi, artinya diharapkan para penghuni rumah menjadi manusia yang berakhlaq baik dan berbudi luhur.

2.      Menghadap ke arah Selatan
Pada umunya Rumah Adat Kudus selalu menghadap kea rah selatan, karena :
a.     Sinar matahari pagi lebih baik bisa masuk ke dalam rumah, sehingga kesehatan penghuninya dapat lebih terjamin.
b.     Bila musim kemarau tritisan depan rumah tidak langsung kena sinar matahari sehingga tetap lindung (adhem).
c.     Supaya penghuninys berumur panjang dan murah rezeqi.
d.    Nenek moyang kita tetap berpegang kepada filsafat yang mengharuskan berumah tinggal yang :
·         Membelakangi gunung.
·         Dikelilingi persawan/perkebunan.
·         Menghadap samudra.
3.      Upacara adat dan tradisional dalam rangka mendirikan rumah adat
a.          Upacara selamatan Bukak Tebleg, yaitu sesaat sebelum penggalian pandemen rumah yang akan dibangun guna keselamatan pemilik.
b.          Upacara ulih-ulihan, yaitu selamatan dan tasyakuran setelah rumah sudah jadi dan siap dihuni, dengan mengundang masyarakat setempat, maka diharapkan keakraban bermasyarakat di tempat baru akan lestari.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Motif-motif ukiran Rumah Adat Kudus terdiri dari  beberapa motif ukiran yang dipengaruhi dari budaya Cina, Hindu, Islam dan Eropa. Bentuk Rumah Adat Kudus adalah “Joglo-Pencu” yang berpenampilan perkasa serta anggun. Tata ruang rumah adat Kudus tampak sederhana, dan terdiri beberapa ruangan, yaitu : Jogo satru, ruang dalam (inti), dan pawon. Nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalam arsitektur tradisional rumah adat Kudus, yaitu : pakawin, menghadap ke selatan dan upacara adat tradisional dalam rangka mendirikan rumah adat.

B. Saran
     Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak menemui kesulitan, oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik agar saya dapat menyempurnakan makalah ini.















DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Joglo_Kudus diakses 15 Desember 2014 pada 20:55   
            WIB.
Wiryomartono,  A.  Bagoes  P.  (1995).  Seni  Bangunan  dan  Seni  Binakota  di
Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


Rabu, 12 November 2014

Edmund Gustav Aibercht Husserl (Fenomenologi)


A. Pendahuluan
Filsafat manusia merupakan bagian integral dari sistem filsafat, yang fokus menyoroti hakikat atau esensi manusia. Ditinjau dari sudut pandang ontologis, filsafat manusia memiliki kedudukan yang relatif lebih penting karena semua cabang filsafat, yakni etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika, bermuara pada persoalan asasi berkenaan dengan esensi manusia. Adapun salah satu pembahasan dalam filsafat manusia yang cukup mendapat perhatian dewasa ini adalah fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.
Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.
Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.
Perlu diketahui bahwa di sini hanya membahas beberapa hal dari kehidupan Edmund Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok. Tulisan ini difokuskan pada “pemikiran fenomenologi menurut Edmund Husserl”. Hal itu karena, ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal.
Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan fenomenologi.
Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam dari ranah filsafat.

Riwayat Hidup
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl. Sebenarnya istilah “fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda. Kemudian Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara tepat. Contoh misalnya, dalam  karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi : fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita.
Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia

C. Tulisan-Tulisan Terpenting
1). Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2). Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3). Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?

D. Pikiran-Pikiran Pokok
1. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
 Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran. Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi. (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri” (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
 Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan munculnya fenomenologi. Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya. Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam dunia kehidupan.
Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.

2. Intensionalitas
Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya.

3. Tiga Jenis Reduksi
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).

E. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Sebagai pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil dan, mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di zaman sekarang).

Kesimpulan
Ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena.
Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.

Daftar Pustaka
 Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif).
 Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.
 Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad XX. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988.
 Hamersma, Herry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia. 1983.
 Hamersma, Herry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
 Team Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru). Jakarta: Pustaka
 Phoenix. 2007.