Tinggal menghitung hari
lagi kita bangsa Indonesia akan memperingati hari lahirnya salah satu tokoh
pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara atau dengan nama aslinya Raden Mas
Soewardi. Tepatnya tanggal 2 Mei 2013 ini, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)
akan kita peringati. Tiga kata yang tergabung dalam sebuah frasa yang penuh
makna dan sebuah hari yang dianggap sebagai tonggak terpenting dalam sejarah
Indonesia modern.
Hari tersebut juga
dapat sekaligus kita jadikan momen yang paling tepat untuk mengoreksi diri
sejauh mana pendidikan yang kita tempuh, khususnya bangsa Indonesia karena
pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun bangsa dan negara dalam bingkai
persatuan dan kesatuan. Semakin tinggi pendidikan yang dieyam oleh suatu
bangsa, semakin makmur pula kesejahteraan bangsanya.
Pendidikan dan
pengajaran adalah dua hal yang mungkin bagi sebagian besar orang merupakan dua
hal yang sama, namun ternyata pendidikan dengan pengajaran memiliki perbedaan
yang sangat signifikan. Pengajaran adalah suatu aktivitas mengarahkan dan memberikan
kemudahan dalam cara menemukan sesuatu berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh
pelajar atau dapat pula diartikan sebagai aktivitas nyata mengajarkan
pengetahuan, teknologi, dan keterampilan, serta meningkatkan kecerdasan dan
pengendalian emosi peserta didik untuk survive dalam kehidupan.
Sedangkan pendidikan
adalah kegiatan memberi pengajaran, yang membuat seseorang memahami, dan dengan
pemahaman itu peserta didik dapat mengembangkan potensi diri dengan menerapkan
apa yang dipelajari. Setelah memahami kedua hal tersebut, maka dapat kita ambil
kesimpulan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung seumur hidup dan
pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti sampai kehidupan seseorang
berakhir.
Saat ini pemerintah
telah menerapkan pendidikan karakter sebagai dasar kebijakan pendidikan.
Pendidikan karakter berbeda dengan pendidikan moral karena mereka tidak lagi
mempelajari mana yang benar dan salah tetapi lebih cenderung mempelajari makna
yang benar dan yang salah. Untuk mempelajari makna benar dan salah tersebut,
maka diperlukan suatu kegiatan yang dipraktekkan secara terus menerus yang akan
menjadi suatu kebiasaan yang positif bagi anak, jadi pendidikan karakter
mengutamakan proses melaksanakan atau dengan kata lain tingkah laku dapat
dilihat berdasarkan kebiasaan anak tersebut.
Membicarakan soal
pendidikan karakter, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya. Sudah
berhasilkah pendidikan mewujudkan karakter anak negeri ini? Memang agak sulit
pertanyaan tersebut untuk dijawab. Mungkin anda dapat menjawabnya sendiri. Mari
kita lihat kenyataan yang sering terjadi di sekitar kita. Di lingkungan kampus
misalnya, masih banyak yang belum memahami makna pendidikan yang sebenarnya.
Berpakaian tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat, tugas yang amburadul,
berperilaku tak sepantasnya sebagai seorang pelajar, dan lain sebagainya.
Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil potret pendidikan yang kita alami.
Sesuatu yang negatif
jika dilakukan terus menerus, akan menjadi sebuah kebiasaan yang berkelanjutan
dan akan dianggap benar. Pada akhirnya tidak akan mudah memperbaiki kebiasan
negatif tersebut yang sudah menjadi aturan yang benar. Ibarat peribahasa berkata
nasi sudah bubur.
Dengan melihat
kenyataan seperti itu, sekarang ini mutlak diperlukan pendidikan karakter yang
bukan hanya untuk di sekolah saja, tapi dapat diterapkan di lingkungan rumah
dan sosial. Bahkan, saat ini peserta pendidikan karakter bukan saja anak usia
dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa demi kelangsungan hidup bangsa ini.
Banyangkan bagaimana
dan apa persaingan yang muncul di tahun-tahun berikutnya? Jelas, itu akan
menjadi beban dan tanggung jawab kita dan orang tua masa kini. Tuntutan
kualitas sumber daya manusia di tahun berikutnya tentu membutuhkan good
character. Bagaimanapun juga karakter adalah kunci keberhasilan setiap
individu.
Kita lihat sistem yang
diterapkan di negara Jepang misalnya, seseorang dapat lolos dalam penerimaan
suatu pekerjaan, jika dia lolos dalam emotional quotient atau dengan kata lain
kepribadian yang positif lebih diutamakan dalam penerimaan pegawai. Bagaimana
dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus bangsa ini? Percayakah kita, kelak
tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan
baik atau justru sebaliknya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Pendidikan dalam dunia
politik cenderung berorientasi pada kuantitas daripada kualitas. Indonesia
sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan Olimpiade Fisika dan Matematika,
namun bagaimana cara mempertahankannya itu yang menjadi masalah. Dari situ
dapat kita rasakan mutu pendidikan kita pun diukur dari segi kuantitasnya bukan
kualitas.
Selain itu pendidikan
kita pun terbelenggu dengan politik uang. Kalau banyak lembaga pendidikan yang
terbelenggu dengan politik tersebut, maka hanya orang yang beruanglah yang
punya akses. Pengelolaan pendidikan di negeri ini masih perlu banyak perbaikan.
Pencetus pendidikan
karakter asal jerman, F W Foester mengatakan tujuan pendidikan adalah
pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan
perilaku hidup yang dimilikinya. Karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi
seorang pribadi. Karakter jadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen
yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas pribadi diukur.
Beliau juga menambahkan
empat ciri dasar dari pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di
mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman
normatif dari setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian,
membuat seseorang teguh pada prinsip. Sikap ini merupakan sebuah keutamaan yang
butuh pengolahan yang tidak singkat. Ketiga, otonomi. Pada butir ini seseorang
menerapkan aturan dari luar sampai jadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Pada ciri keempat ini orang akan mencapai komitmen dan
mempertahankannya karena dianggap baik.
Lalu bagaimana kita
bisa mendesain pendidikan kita agar idealisme Foester bisa terlaksana? Tentu
jawabannya adalah, maksimalkan peran guru dan siswa. Dengan jawaban ini dapat
kita lihat realisasi yang dilakukan oleh pemerintah pada beberapa tahun
terakhir ini, yaitu pemberian sertifikasi kepada guru. Namun mengapa harus sertifikasi
guru? Ada yang bilang sertifikasi guru ini adalah upaya untuk memajukan mutu
pendidikan kita. Benarkah? Saya meragukan!
Dengan biaya yang
sangat mengejutkan untuk peningkatan mutu pendidikan melalui cara ini, apakah
sudah pasti mutu pendidikan akan meningkat? Memang mungkin akan meningkat
dengan cara ini, tetapi bagaimana karakter guru bangsa kita? Mereka akan
meningkatkan kualitas diri hanya karena mereka inginkan imbalan. Pernyataan
tersebut masih dapat kita terima, namun bagiamana jika, mereka memperebutkan
sertifikasi tersebut dengan jalan pintas lalu menerima imbalan yang cukup
besar?
Dengan demikian,
sebenarnya sertifikasi guru melahirkan ketidakadilan. Kalau sudah seperti ini,
masyarakat akan menjelma menjadi masyarakat yang berisiko. Dalam benak saya,
pemerintah telah salah langkah dengan program sertifikasi itu sendiri. Yah,
bolehlah menerapakan sertifikasi guru ini, namun tentunya pengwasan yang
intensif masih perlu dilakukan untuk menjaga kualitas guru itu sendiri dan
pendidikan kita.
Dengan kita memikirkan
idealisme Foester, nurani kita mungkin akan terketuk untuk memaksimalkan
kinerja dan tanggung jawab. Bahwa mutu pendidikan kita bisa tumbuh dan
berkembang jika ada ketulusan dalam memajukan karakter dengan empat tekanan yang telah tersebutkan.
Pendidikan terasa sangat mudah jika mereka yang duduk di kursi pemerintahan
juga memberikan aksesnya untuk menempuh pendidikan tersebut di negara ini.
Diantara begitu banyak berita
negatif tentang potret dunia pendidikan, negar kita sudah banyak melakukan
usaha demi memajukan dunia pendidikan. Melalui peringatan Hardiknas ini sudah
sepatutnya guru yang berkecimpung dalam dunia pendidikan menyikapi dengan
tindakan yang nyata. Membangun mind set yang bermula dari diri sendiri,
melakukan tugas yang diemban secara profesional, melakukan inovasi
pembelajaran, dan sebagainya.
Belajar dari kesalahan
masa lalu yang telah dilakukan bangsa kita sendiri, dapat menjadikan kita lebih
tangguh untuk menghadapi masalah yang akan datang dan dapat berbenah diri.
Seperti kata bijak yang dilontarkan oleh Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung
tulodho”, yaitu ketika kita di depan publik, kita harus bisa memberikan contoh
atau teladan yang baik untuk orang lain. Yang kedua adalah “ing madyo mangun
karsa” ketika di tengah atau di antara publik, kita harus mangun karso atau
bekerja keras dan membangun kinerja yang
baik. Yang terakhir adalah “tut wuri handayani” yaitu ketika kita ada di
belakang, kita harus memberi semangat dan motivasi untuk orang lain.
Berpegang dari dua
idealisme yang di berikan oleh dua tokoh tersebut, kita sudah seharusnya dapat
mengamalakan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tak harus
berperang melawan penjajah tetapi kesungguhan melakukan hal positif sesuai
profesi secara tidak langsung akan melakasanakan amalannya, khususnya pada
konteks pendidikan.
Masih banyak masalah di
duni pendidikan kita yang harus deperbaiki dengan segera. Belum lagi
peningkatan mutu pendidikan yang masih jauh dari harapan. Untuk itu, mulailah
dari diri sendiri, sudahkah anda memiliki pendidikan yang berkualitas?
Upaya pemerintah dalam
menangani masalah pendidikan tidak henti-hentinya dilakukan. Pada peringatan
Hardiknas 2012 lalu, ratusan siswa dari tiga sekolah dasar di Surabaya
digandeng untuk melakukan penanaman pohon secara serentak. Menurut Direktur
Konsorsium Lingkungan Hidup, Imam Rochani, dipilihnya target penanaman dengan
melibatkan siswa SD, karena dianggapnya ada proses edukasi yang bisa diajarkan
tentang pentingnya penyelamatan lingkungan.
Selain itu pada peringatan
Hardiknas tahun lalu, Gubernur Jawa Timur Dr. H Soekarwo memberikan penghargaan
kepada siswa siswi yang berprestasi saat upacara peringatan Hardiknas. Upaya
pemberian penghargaan kepada siswa siswi berprestasi juga cukup baik dalam
menangani masalah mutu pendidikan, namun bagiamana dengan menumbuhkan anak agar
dapat berprestasi? Itu masalah selanjutnya yang kita hadapi, sedangkan
fasilitas yang kita miliki masih dirasa belum cukup untuk merealisasikannya.
Pembebasan biaya
sekolah oleh pemerintah juga dinilai cukup baik dalam memberantas masalah anak
putus sekolah, namun masih banyak yang mengambil kesempatan ini sebagai cara
untuk memperkaya diri. Hanya beberapa persen bantuan yang diberikan oleh
pemerintah yang mampu tersalurkan kepada siswa. Dana tersebut terlalu mudah
untuk lepas dari pengawasan pemerintah dari para tikus-tikus kantoran. Upaya
ini pun perlu adanya pengawasan yang cukup ketat agar dana yang disalurkan
kepada siswa, mampu diterima dengan utuh
dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Peringatan Hardiknas
2013 ini, pemerintah Provinsi Jawa Timur berupaya melakukan persiapan secara
sempurna dengan cara melakukan koordinasi dengan semua pihak. Persiapan upacara
yang akan digelar tanggal 2 Mei 2013 di gedung negara Grahadi itu, mencapai 50
persen atau memasuki tahap rapat persiapan terakhir. Meskipun sampai saat ini
tema kegiatan masih menunggu dari pusat. Berbeda dengan upacara peringatan
Hardiknas tahun 2012 lalu, sebagai acara tambahan akan dilakukan pemberian
penghargaan oleh Bapak Gubernur yakni penghargaan siswa dan guru berprestasi
tingkat provinsi dan nasional.
Pemberian penghargaan
kepada siswa dan guru oleh Gubernur ini dinilai cukup baik dalam memajukan
kualitas pendidikan kita. Pemberian penghargaan diharapkan dapat terus memacu
semangat dalam meningkatkan kualitas diri terhadap pendidikan. Namun, tentunya
peningkatan kualitas diri tersebut dapat kita lakukan secara terus menerus
sampai pada terbentuknya kualitas diri yang mumpuni dalam menangani masalah
pendidikan. Karena pendidikan bukan masalah pemerintah saja, namun pendidikan
adalah masalah kita bersama, tidak memandang profesi, usia, atau pun wilayah
semua orang pasti mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, ada
beberapa hal yang patut kita renungkan dalam peringatan Hari Pendidikan
Nasional ini, yaitu momentum untuk merenungkan dan merefleksikan diri terhadap
perjalanan dan langkah yang panjang telah kita lalui dalam dunia pendidikan,
menyiapkan rancangan untuk masa depan yang lebih baik, dan mengenang para
pejuang tokoh pendidikan dan mengaplikasikan amanatnya kepada generasi penerus
agar pendidikan dapat terarah bagaimana seharusnya.
Dengan semangat
Hardiknas, tentunya kita rayakan momentum ini secara terus menerus dan dapat
dijalankan sesuai dengan masanya, karena itulah momentum Hardiknas kali ini
juga harus bisa memberikan makna lebih, dan tidak hanya sebatas pada
memperingatinya secara seremonial saja.
Tidak ada alasan untuk
menunda-nunda mewujudkan bangsa yang mengerti pendidikan dengan berpedoman pada
prinsip pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung
tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Marilah bersama kita
menemukan kembali arti penting pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar