A. Pendahuluan
Filsafat
manusia merupakan bagian integral dari sistem filsafat, yang fokus menyoroti
hakikat atau esensi manusia. Ditinjau dari sudut pandang ontologis, filsafat
manusia memiliki kedudukan yang relatif lebih penting karena semua cabang
filsafat, yakni etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika,
bermuara pada persoalan asasi berkenaan dengan esensi manusia. Adapun salah
satu pembahasan dalam filsafat manusia yang cukup mendapat perhatian dewasa ini
adalah fenomenologi.
Kata
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak,
yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah
gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi
adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak
atau yang menampakkan diri.
Seorang
Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum
dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan
dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu kepada
analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog
atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung
yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia
kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
Jelasnya,
fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman
konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang
radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari
segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi,
asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli
apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus
dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi
menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah
itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi
adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan.
Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh
penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme
epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang dipromosikan Husserl
ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak
belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu
pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat
selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.
Perlu
diketahui bahwa di sini hanya membahas beberapa hal dari kehidupan Edmund
Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam mendalami pemikirannya, tentu lebih
utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya. Siapa dia, berasal dari
mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau
pemikiran utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti
terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini difokuskan pada “pemikiran fenomenologi menurut Edmund Husserl”.
Hal itu karena, ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi
filsafat abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan analisa struktur
intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur ini terarah pada
obyek real dan ideal.
Bagi
Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari,
atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau setiap
karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan
fenomenologi.
Secara
material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu sebagai
pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi pada
khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan
energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam
dari ranah filsafat.
Riwayat Hidup
Fenomenologi
sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini,
pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl.
Sebenarnya istilah “fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert
(1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta
sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara
berbeda. Kemudian Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara
khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara tepat. Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of
Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda
dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami
dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan
konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah.
Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan
sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta
menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi :
fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan
kesadaran kita.
Ia
adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg
di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir di Prestejov
(dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di
universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat;
mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada
filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901,
kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga
sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara.
Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya
dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di
Belgia
C.
Tulisan-Tulisan Terpenting
1).
Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun
1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu
harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan
(obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan
sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam
psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal,
sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal
tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan
mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
2).
Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913
(Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat
fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini.
Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda
kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya,
dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan
terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta
mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa
yang keliru.
3).
Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini
dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku
bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar
dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di
dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah
dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya
akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana
aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?
D.
Pikiran-Pikiran Pokok
1. Fenomenologi
Istilah
fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Arti kata
logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi pengertian umum
dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena berasal dari kata
kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata
fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu
terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita
berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu
yang menampakkan.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena
selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran.
Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran
kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan”
(ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi
kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran.
Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita
akan terjebak pada dikotomi. (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu
sama lain). Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni
sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil
gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar)
melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang
hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang
kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah
dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil
konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam
pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga
bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Sebelum
tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai “fenomenologi
psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya mencatat apa yang
dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala.
Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri” (Zu den
Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis
tidak dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai
persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari
Wesenchau: melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal
ini, kita harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita
membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak
apa yang merupakan batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini.
Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang dicari.
Setelah
tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia
berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan,
melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran
dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek.
Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat
dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua
pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang
hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Fenomenologi
adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan berpengaruh. Sebagai corak
berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola berfilsafat yang tidak lagi
mencari esensi di balik penampakkan, melainkan berkonsentrasi penuh pada
penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu bersih segala asumsi yang
cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir
semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain;
psikologi, sosiologi, antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas
baru dengan munculnya fenomenologi. Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi
juga menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf
semacam Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya
sendiri yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi
eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka
dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap
konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya.
Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi dalam
dunia kehidupan.
Sebagai
disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar
pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh
pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.
2.
Intensionalitas
Salah
satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru
untuk intensionalitas kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa
sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu
bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa
kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata
“intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa
kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena kesadaran itu justru
intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila
kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap
menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari
sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada
bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu
suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan
obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama
antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek
yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman
subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat secara aktif
dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu menuju,
mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh memikirkan
pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman
bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya, menerobos masuk.
Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke dalam kesadaran.
Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang mengalami, wujud
yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya dengan seluruh
muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas,
yang melekatkannya.
3. Tiga Jenis
Reduksi
Supaya
dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga
reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau
kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu
yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang
harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek
yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga: menyingkirkan seluruh
reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus,
untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri
dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).
E. Relevansi
Pada
milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik secara
langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang
“masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media
masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja
kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat
fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini.
Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi,
antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang
Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan
ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari
manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut
hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena alam lainnya
merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk diperbincangkan
dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya sampah di TPA Spiturang.
Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering mengais-ngais sampah itu
sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu ada fenomena-fenomena yang
mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya janganlah kita melihatnya hanya
sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata kita, tetapi sebenarnya ada
fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu pemulung di TPA Spiturang
adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan orang kaya.
Dalam
tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini; supaya dalam
melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam hidup, selalu
bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu kembali
kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah membiarkan
obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian kita akan
menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada suatu
referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi dewasa ini.
Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang fenomena dari
dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan
dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari sudut kesadaran
kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan demikian, dalam
memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu
sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Sebagai
pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya ini? Beranikah
kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian
pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana kita
memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,
penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni dengan
melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal yang kecil
dan, mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di
zaman sekarang).
Kesimpulan
Ciri
khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam
filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah
kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita
untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan
bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha
kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada
realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil
kepada kita itulah yang disebut fenomena.
Fenomenologi
secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara
bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa,
di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi adalah studi tentang
kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme
berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih suatu metode filsafat
daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl kemudian dikembangkan oleh
muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty. Fenomenologi mengatakan
bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi.
Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen, konsep-konsep dan teori
umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara
kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari
semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah
dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan
“bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena itu, metode
fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi, psikologi,
antropologi, studi agama-agama dan etika.
Daftar Pustaka
Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran
Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif).
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia. 2005.
Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad XX.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988.
Hamersma, Herry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat
Modern. Jakarta: Gramedia. 1983.
Hamersma, Herry. Pintu Masuk ke Dunia
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.
Team Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi Baru). Jakarta: Pustaka
Phoenix. 2007.