Kamis, 01 Agustus 2013

MENGUSUNG HARDIKNAS YANG SEBENARNYA



Tinggal menghitung hari lagi kita bangsa Indonesia akan memperingati hari lahirnya salah satu tokoh pendidikan yaitu Ki Hajar Dewantara atau dengan nama aslinya Raden Mas Soewardi. Tepatnya tanggal 2 Mei 2013 ini, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) akan kita peringati. Tiga kata yang tergabung dalam sebuah frasa yang penuh makna dan sebuah hari yang dianggap sebagai tonggak terpenting dalam sejarah Indonesia modern.
Hari tersebut juga dapat sekaligus kita jadikan momen yang paling tepat untuk mengoreksi diri sejauh mana pendidikan yang kita tempuh, khususnya bangsa Indonesia karena pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun bangsa dan negara dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Semakin tinggi pendidikan yang dieyam oleh suatu bangsa, semakin makmur pula kesejahteraan bangsanya.
Pendidikan dan pengajaran adalah dua hal yang mungkin bagi sebagian besar orang merupakan dua hal yang sama, namun ternyata pendidikan dengan pengajaran memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Pengajaran adalah suatu aktivitas mengarahkan dan memberikan kemudahan dalam cara menemukan sesuatu berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh pelajar atau dapat pula diartikan sebagai aktivitas nyata mengajarkan pengetahuan, teknologi, dan keterampilan, serta meningkatkan kecerdasan dan pengendalian emosi peserta didik untuk survive dalam kehidupan.
Sedangkan pendidikan adalah kegiatan memberi pengajaran, yang membuat seseorang memahami, dan dengan pemahaman itu peserta didik dapat mengembangkan potensi diri dengan menerapkan apa yang dipelajari. Setelah memahami kedua hal tersebut, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung seumur hidup dan pencapaian tujuan pendidikan tidak akan berhenti sampai kehidupan seseorang berakhir.
Saat ini pemerintah telah menerapkan pendidikan karakter sebagai dasar kebijakan pendidikan. Pendidikan karakter berbeda dengan pendidikan moral karena mereka tidak lagi mempelajari mana yang benar dan salah tetapi lebih cenderung mempelajari makna yang benar dan yang salah. Untuk mempelajari makna benar dan salah tersebut, maka diperlukan suatu kegiatan yang dipraktekkan secara terus menerus yang akan menjadi suatu kebiasaan yang positif bagi anak, jadi pendidikan karakter mengutamakan proses melaksanakan atau dengan kata lain tingkah laku dapat dilihat berdasarkan kebiasaan anak tersebut.
Membicarakan soal pendidikan karakter, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya. Sudah berhasilkah pendidikan mewujudkan karakter anak negeri ini? Memang agak sulit pertanyaan tersebut untuk dijawab. Mungkin anda dapat menjawabnya sendiri. Mari kita lihat kenyataan yang sering terjadi di sekitar kita. Di lingkungan kampus misalnya, masih banyak yang belum memahami makna pendidikan yang sebenarnya. Berpakaian tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat, tugas yang amburadul, berperilaku tak sepantasnya sebagai seorang pelajar, dan lain sebagainya. Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil potret pendidikan yang kita alami.
Sesuatu yang negatif jika dilakukan terus menerus, akan menjadi sebuah kebiasaan yang berkelanjutan dan akan dianggap benar. Pada akhirnya tidak akan mudah memperbaiki kebiasan negatif tersebut yang sudah menjadi aturan yang benar. Ibarat peribahasa berkata nasi sudah bubur.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, sekarang ini mutlak diperlukan pendidikan karakter yang bukan hanya untuk di sekolah saja, tapi dapat diterapkan di lingkungan rumah dan sosial. Bahkan, saat ini peserta pendidikan karakter bukan saja anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa demi kelangsungan hidup bangsa ini.
Banyangkan bagaimana dan apa persaingan yang muncul di tahun-tahun berikutnya? Jelas, itu akan menjadi beban dan tanggung jawab kita dan orang tua masa kini. Tuntutan kualitas sumber daya manusia di tahun berikutnya tentu membutuhkan good character. Bagaimanapun juga karakter adalah kunci keberhasilan setiap individu.
Kita lihat sistem yang diterapkan di negara Jepang misalnya, seseorang dapat lolos dalam penerimaan suatu pekerjaan, jika dia lolos dalam emotional quotient atau dengan kata lain kepribadian yang positif lebih diutamakan dalam penerimaan pegawai. Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus bangsa ini? Percayakah kita, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Pendidikan dalam dunia politik cenderung berorientasi pada kuantitas daripada kualitas. Indonesia sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan Olimpiade Fisika dan Matematika, namun bagaimana cara mempertahankannya itu yang menjadi masalah. Dari situ dapat kita rasakan mutu pendidikan kita pun diukur dari segi kuantitasnya bukan kualitas.
Selain itu pendidikan kita pun terbelenggu dengan politik uang. Kalau banyak lembaga pendidikan yang terbelenggu dengan politik tersebut, maka hanya orang yang beruanglah yang punya akses. Pengelolaan pendidikan di negeri ini masih perlu banyak perbaikan.
Pencetus pendidikan karakter asal jerman, F W Foester mengatakan tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku hidup yang dimilikinya. Karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter jadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas pribadi diukur.
Beliau juga menambahkan empat ciri dasar dari pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif dari setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip. Sikap ini merupakan sebuah keutamaan yang butuh pengolahan yang tidak singkat. Ketiga, otonomi. Pada butir ini seseorang menerapkan aturan dari luar sampai jadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Pada ciri keempat ini orang akan mencapai komitmen dan mempertahankannya karena dianggap baik.
Lalu bagaimana kita bisa mendesain pendidikan kita agar idealisme Foester bisa terlaksana? Tentu jawabannya adalah, maksimalkan peran guru dan siswa. Dengan jawaban ini dapat kita lihat realisasi yang dilakukan oleh pemerintah pada beberapa tahun terakhir ini, yaitu pemberian sertifikasi kepada guru. Namun mengapa harus sertifikasi guru? Ada yang bilang sertifikasi guru ini adalah upaya untuk memajukan mutu pendidikan kita. Benarkah? Saya meragukan!
Dengan biaya yang sangat mengejutkan untuk peningkatan mutu pendidikan melalui cara ini, apakah sudah pasti mutu pendidikan akan meningkat? Memang mungkin akan meningkat dengan cara ini, tetapi bagaimana karakter guru bangsa kita? Mereka akan meningkatkan kualitas diri hanya karena mereka inginkan imbalan. Pernyataan tersebut masih dapat kita terima, namun bagiamana jika, mereka memperebutkan sertifikasi tersebut dengan jalan pintas lalu menerima imbalan yang cukup besar?
Dengan demikian, sebenarnya sertifikasi guru melahirkan ketidakadilan. Kalau sudah seperti ini, masyarakat akan menjelma menjadi masyarakat yang berisiko. Dalam benak saya, pemerintah telah salah langkah dengan program sertifikasi itu sendiri. Yah, bolehlah menerapakan sertifikasi guru ini, namun tentunya pengwasan yang intensif masih perlu dilakukan untuk menjaga kualitas guru itu sendiri dan pendidikan kita.
Dengan kita memikirkan idealisme Foester, nurani kita mungkin akan terketuk untuk memaksimalkan kinerja dan tanggung jawab. Bahwa mutu pendidikan kita bisa tumbuh dan berkembang jika ada ketulusan dalam memajukan karakter dengan  empat tekanan yang telah tersebutkan. Pendidikan terasa sangat mudah jika mereka yang duduk di kursi pemerintahan juga memberikan aksesnya untuk menempuh pendidikan tersebut di negara ini.
Diantara begitu banyak berita negatif tentang potret dunia pendidikan, negar kita sudah banyak melakukan usaha demi memajukan dunia pendidikan. Melalui peringatan Hardiknas ini sudah sepatutnya guru yang berkecimpung dalam dunia pendidikan menyikapi dengan tindakan yang nyata. Membangun mind set yang bermula dari diri sendiri, melakukan tugas yang diemban secara profesional, melakukan inovasi pembelajaran, dan sebagainya.
Belajar dari kesalahan masa lalu yang telah dilakukan bangsa kita sendiri, dapat menjadikan kita lebih tangguh untuk menghadapi masalah yang akan datang dan dapat berbenah diri. Seperti kata bijak yang dilontarkan oleh Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tulodho”, yaitu ketika kita di depan publik, kita harus bisa memberikan contoh atau teladan yang baik untuk orang lain. Yang kedua adalah “ing madyo mangun karsa” ketika di tengah atau di antara publik, kita harus mangun karso atau bekerja keras dan membangun kinerja  yang baik. Yang terakhir adalah “tut wuri handayani” yaitu ketika kita ada di belakang, kita harus memberi semangat dan motivasi untuk orang lain.
Berpegang dari dua idealisme yang di berikan oleh dua tokoh tersebut, kita sudah seharusnya dapat mengamalakan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tak harus berperang melawan penjajah tetapi kesungguhan melakukan hal positif sesuai profesi secara tidak langsung akan melakasanakan amalannya, khususnya pada konteks pendidikan.
Masih banyak masalah di duni pendidikan kita yang harus deperbaiki dengan segera. Belum lagi peningkatan mutu pendidikan yang masih jauh dari harapan. Untuk itu, mulailah dari diri sendiri, sudahkah anda memiliki pendidikan yang berkualitas?
Upaya pemerintah dalam menangani masalah pendidikan tidak henti-hentinya dilakukan. Pada peringatan Hardiknas 2012 lalu, ratusan siswa dari tiga sekolah dasar di Surabaya digandeng untuk melakukan penanaman pohon secara serentak. Menurut Direktur Konsorsium Lingkungan Hidup, Imam Rochani, dipilihnya target penanaman dengan melibatkan siswa SD, karena dianggapnya ada proses edukasi yang bisa diajarkan tentang pentingnya penyelamatan lingkungan.
Selain itu pada peringatan Hardiknas tahun lalu, Gubernur Jawa Timur Dr. H Soekarwo memberikan penghargaan kepada siswa siswi yang berprestasi saat upacara peringatan Hardiknas. Upaya pemberian penghargaan kepada siswa siswi berprestasi juga cukup baik dalam menangani masalah mutu pendidikan, namun bagiamana dengan menumbuhkan anak agar dapat berprestasi? Itu masalah selanjutnya yang kita hadapi, sedangkan fasilitas yang kita miliki masih dirasa belum cukup untuk merealisasikannya.
Pembebasan biaya sekolah oleh pemerintah juga dinilai cukup baik dalam memberantas masalah anak putus sekolah, namun masih banyak yang mengambil kesempatan ini sebagai cara untuk memperkaya diri. Hanya beberapa persen bantuan yang diberikan oleh pemerintah yang mampu tersalurkan kepada siswa. Dana tersebut terlalu mudah untuk lepas dari pengawasan pemerintah dari para tikus-tikus kantoran. Upaya ini pun perlu adanya pengawasan yang cukup ketat agar dana yang disalurkan kepada  siswa, mampu diterima dengan utuh dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Peringatan Hardiknas 2013 ini, pemerintah Provinsi Jawa Timur berupaya melakukan persiapan secara sempurna dengan cara melakukan koordinasi dengan semua pihak. Persiapan upacara yang akan digelar tanggal 2 Mei 2013 di gedung negara Grahadi itu, mencapai 50 persen atau memasuki tahap rapat persiapan terakhir. Meskipun sampai saat ini tema kegiatan masih menunggu dari pusat. Berbeda dengan upacara peringatan Hardiknas tahun 2012 lalu, sebagai acara tambahan akan dilakukan pemberian penghargaan oleh Bapak Gubernur yakni penghargaan siswa dan guru berprestasi tingkat provinsi dan nasional.
Pemberian penghargaan kepada siswa dan guru oleh Gubernur ini dinilai cukup baik dalam memajukan kualitas pendidikan kita. Pemberian penghargaan diharapkan dapat terus memacu semangat dalam meningkatkan kualitas diri terhadap pendidikan. Namun, tentunya peningkatan kualitas diri tersebut dapat kita lakukan secara terus menerus sampai pada terbentuknya kualitas diri yang mumpuni dalam menangani masalah pendidikan. Karena pendidikan bukan masalah pemerintah saja, namun pendidikan adalah masalah kita bersama, tidak memandang profesi, usia, atau pun wilayah semua orang pasti mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang patut kita renungkan dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional ini, yaitu momentum untuk merenungkan dan merefleksikan diri terhadap perjalanan dan langkah yang panjang telah kita lalui dalam dunia pendidikan, menyiapkan rancangan untuk masa depan yang lebih baik, dan mengenang para pejuang tokoh pendidikan dan mengaplikasikan amanatnya kepada generasi penerus agar pendidikan dapat terarah bagaimana seharusnya.
Dengan semangat Hardiknas, tentunya kita rayakan momentum ini secara terus menerus dan dapat dijalankan sesuai dengan masanya, karena itulah momentum Hardiknas kali ini juga harus bisa memberikan makna lebih, dan tidak hanya sebatas pada memperingatinya secara seremonial saja.
Tidak ada alasan untuk menunda-nunda mewujudkan bangsa yang mengerti pendidikan dengan berpedoman pada prinsip pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Marilah bersama kita menemukan kembali arti penting pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan bangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar